• Share
  • [i]

Minggu, 18 Maret 2012

Prospek dan Tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia

Perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen terhadap UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan landasan operasi yang lebih jelas bagi bank syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank Indonesia (BI) mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu membentuk satuan kerja khusus pada April 1999. Satuan kerja khusus ini menangani penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal bagi Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei 2001, dan sekarang resmi menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia  sejak Agustus 2003.
Dengan semakin banyakya jumlah bank syariah, struktur pasar syariah pun berubah dari monopoli menjadi oligopoly, yang menyebabkan semakin tingginya tingkat persaingan diantara bank syariah. Sehingga, agar mampu bersaing dengan bank konvensional, bank inipun merubah strateginya. Sampai dengan Desember 2003, pemain dalam industri perbankan syariah terdiri dari 2 bank umum syariah (BUS) dan 8 unit usaha syariah (UUS) dari bank umum konvensional (BUK) yang seluruhnya memiliki jaringan kantor berjumlah 119 KCS (Kantor Cabang Syariah), serta 84 BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah). Peningkatan jumlah pemain dalam industri perbankan syariah terlihat cukup pesat bila dibandingkan keadaan akhir tahun 1998 yang hanya berjumlah 1 BUS dengan 8 KCS dan 78 BPRS. Sampai dengan bulan Maret 2004, pemain dalam industri perbankan syariah terdiri dari 2 BUS dan 11 UUS dari BUK. BUS dan UUS yang sudah ada saat ini adalah Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank Rakyat Indonesia Syariah, BNI Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank IFI Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank International Indonesia Syariah, HSBC, Ltd dan Bank DKI (Maret 2004).
Minat investor untuk membuka kantor bank syariah tidak hanya terbatas di pulau Jawa tetapi juga telah menyebar ke pulau lainnya, antara lain: Sumatera (Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang dan Pekanbaru); Kalimantan (Balikpapan dan Banjarmasin); Sulawesi (Makasar); Madura (Pamekasan); dan Irian Jaya (Jayapura). Dengan perkembangan terakhir tersebut jaringan perbankan syariah telah meliputi 18 propinsi. Selain itu, pada saat ini terdapat sejumlah BUK yang sedang dalam proses untuk membuka UUS, yakni Bank Syariah Indonesia (Bank Tugu), Bank Central Asia (BCA), Bank Sumut, Bank Tabungan Negara, Bank Niaga, Bank Riau, Bank Permata, Bank CIC, Bank Bumiputera, dan Bank Kalsel.
Pada 2004, diperkirakan akan terdapat 10 bank lagi yang akan menawarkan jasa perbankan syariah. Ini artinya, pencapaian jumlah perbankan syariah selama 12 tahun di masa sebelumnya (1992-2003) yang mencapai 10 bank, dapat dicapai hanya dengan waktu 12 bulan di tahun 2004.  Hal ini merupakan sebuah fenomena menarik bagi industri perbankan khususnya pada perbankan syariah.

Potensi dan Prospek Pasar Perbankan Syariah
Persaingan antar bank syariah, dan antara bank syariah dengan bank konvensional tidak lepas dari segmentasi yang ada di pasar perbankan di Indonesia. Segmentasi pasar perbankan dapat dibagi menjadi 3 segmen, yaitu segmen conventional, segmen floating mass dan semen  shariah loyalist. Segmentasi ini berlaku baik untuk pasar pembiayaan maupun pasar pendanaan.
Dari segi pasar pembiayaan, perbedaan ketiga segmen ini terletak pada pandangannya terhadap biaya yang harus dibayar oleh nasabah suatu bank (pasar pembiayaan) atau penghasilan yang diterima (pasar pendanaan). Segmen konvensional akan memilih bunga karena bunga dianggap mencerminkan cost yang menguntungkan dari segi pembiayaan atau  return yang menguntungkan dari segi pendanaan. Sedangkan segmen  shariah loyalist akan memilih bank syariah, walaupun selisih  rate bank syariah berada 1-2 % diatas bunga bank konvensional/Lembaga Keuangan Bukan Bank (NBFI) dari segi pembiayaan, dan 1-2%  lebih rendah dari segi pendanaan. Sebaliknya, segmen  floating mass akan cenderung memilih biaya yang paling rendah atau return yang paling tinggi. Pemilihan bank syariah akan terjadi apabila selisih  rate bank syariah lebih kecil atau lebih besar 2-3% dari bank konvensional atau Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Dari segi market size, segmen terbesar justru terdapat pada segmen  floating mass. Sebaliknya segmen terkecil terdapat pada segmen  shariah loyalist. Menurut estimasi KARIM Business Consulting (2003), pangsa pasar segmen  floating mass diperkirakan mencapai Rp 720 triliun. Sedangkan segmen conventional dan segmen shariah loyalist masing-masing mencapai Rp 240 triliun dan Rp 10 triliun.
Disamping  market size yang sangat besar dari segmen  floating mass, sesuai namanya, segmen ini mencerminkan suatu segmen yang memiliki perilaku yang dapat bergerak ke posisi memilih produk-produk bank konvensional atau memilih produk-produk bank syariah. Akibatnya, suatu bank yang menyediakan jasa bank konvensional dapat kehilangan nasabah bila tidak mampu menyediakan jasa bank syariah.
Segmen shariah loyalist, disisi lain, mencerminkan suatu segmen yang anti terhadap pelayanan bank konvensional. Sikap ini disebabkan pandangan bahwa bunga sama dengan riba (haram atau terlarang). Akibatnya, bank konvensional akan sulit mempenetrasi segmen ini. Dalam realitanya, bank-bank syariah yang merupakan bagian dari  dual banking systems (merupakan Unit Usaha Syariah dalam suatu bank konvensional) juga akan mengalami kesulitan mempenetrasi segmen ini karena pandangan segmen ini yang cenderung mencari  return dari simpanannya yang “benar-benar halal”. Segmen ini tampaknya lebih mudah menjadi target pasar dari bank-bank syariah yang berdiri sendiri seperti Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri. 

Tantangan: Overheating Perbankan Syariah
Ibarat mobil,  bank syariah memulai debutnya di awal 2004 dengan kecepatan tinggi. Layaknya sebuah mobil, gejala kepanasan mesin (over-heating) juga dialami perekonomian termasuk perbankan syariah  Dalam konteks ekonomi makro,  over-heating ditandai dengan laju inflasi yang cepat melebihi laju pertumbuhan ekonomi, sehingga secara riil pertumbuhan malah mengalami pertumbuhan negatif.  Dalam konteks bank syariah, over-heating ditandai dengan pertumbuhan yang cepat, naiknya pembiayaan bermasalah, dan turunnya bagi hasil kepada nasabah dana pihak ketiga (DPK). Pada tingkat yang parah  over-heating mempunyai dampak seperti terjangkit penyakit demam berdarah yakni panas tinggi diikuti dengan pendarahan (bleeding).
Dalam konteks perbankan konvensional, bleeding terjadi ketika pendapatan bunga lebih kecil daripada biaya bunga.  Sedangkan dalam konteks perbankan syariah,  bleeding terjadi ketika pendapatan  pembiayaan lebih kecil daripada biaya overhead.
Ada dua cara mengatasi over-heating, yakni memperlambat laju pertumbuhan atau mempersiapkan sistem untuk tumbuh dengan cepat.. Pilihan pertama tentu tidak
diinginkan oleh siapapun, mulai dari BI, pelaku ekonomi, masyarakat luas, maupun MUI. Pilihan kedua yang harus sama-sama kita rumuskan.  Sistem prosedur yang handal, sumberdaya manusia berkualitas tinggi, dan sistem pengawasan khusus diperlukan untuk terus berkembang secara fantastis.
Tingkat pembiayaan bermasalah perbankan syariah memang hanya separuh dibandingkan perbankan konvensional.  Namun bila dilihat pergerakannya rasanya ini saat yang tepat untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.  Secara persentase nilainya relatif stabil, 4,12% (Des 2002), 3,96% (Mar 2003), 3,93% (Jun 2003), 3,96% (Sep 2003), 3,67% (Oct 2003), 3,39% (Nov 2003).  Dalam keadaan pembiayaan bertumbuh demikian cepat, stabilnya angka ini bukan merupakan suatu yang menggembirakan; bila pembagi bertambah besar, dan hasilnya sama, itu berarti yang dibagi pun bertambah secepat pembaginya.
Secara nominal pembiayaan macet naik dari bulan ke bulan dari Rp 53 miliar (Desember 2002) menjadi Rp 71 miliar (November 2003).  Pada kurun waktu yang sama, pembiayaan kurang lancar naik dari  Rp 51 miliar menjadi Rp 84 miliar, pembiayaan dalam perhatian khusus naik dari Rp119 miliar menjadi Rp 344 miliar.
Lonjakan DPK membuat bank-bank syariah kelebihan likuiditas, yang terlihat jelas dari naiknya jumlah dana bank syariah yang ditempatkan pada Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Pada saat yang bersamaan tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selesai.  Dengan selesainya tugas BPPN, ratusan ribu asset yang semula di BPPN kembali ke pasar, sekarang dapat di restrukturisasi, di biayai ulang, dan aktif  kembali.  Tersedianya kelebihan likuiditas dan tersedianya asset ex BPPN yang siap dibiayai dapat jadi campuran kimia yang pas untuk menggenjot pertumbuhan pembiayaan.  Inilah urgensi tulisan ini.  Prinsip kehati-hatian dalam pemberian pembiayaan harus diutamakan daripada memproduktifkan dana yang tersimpan di SWBI.  Bukankah kaidah fikih mengatakan  dar-ul mafasid muqaddam ‘ala jabbal mashalih (mendahulukan mencegah mudarat lebih utama daripada mencari manfaat).
Pilihan kedua adalah dengan membeli obligasi syariah maupun medium term notes (MTN) syariah yang semakin marak.  Dari aspek kesyariahan tentu maraknya instrumen ini patut disyukuri.  Namun hal itu jangan sampai melupakan konsekuensi risiko dari suatu obligasi korporasi, dalam hal ini rating yang didapatkannya dari Pefindo (Pemeringkat Efek Indonesia). Saat ini, belum semua dari 6 obligasi syariah dan 1 MTN syariah yang diterbitkan, yang menyandang rating minimal A-.  Meskipun kita sama tahu untuk investment grade (layak investasi) tidak perlu A-.  Walaupun risiko gagal bayar memang baru akan muncul 5-7 tahun kemudian, namun setidaknya hal ini patut dicermati secara seksama.
Bagi hasil DPK bank-bank syariah memang lebih tinggi daripada suku bunga.  Ketika suku bunga (saat ini) sekitar 6%, bagi hasil dapat mencapai 9%. Di satu sisi tentu ini menggembirakan.  Di sisi lain, hal ini juga harus dicermati terutama penurunan bagi hasilnya. Dalam bank syariah, bagi hasil DPK merupakan refleksi langsung pendapatan pembiayaan sehingga merupakan refleksi tidak langsung kualitas pembiayaan.  Pada perbankan konvensional, bunga ditentukan dalam rapat ALCO (Asset & Liabilily Committee) yang tidak merefleksikan langsung kinerja di sisi asset.  Sehingga bila sekarang bunga 6%, bulan depan dapat saja meningkat menjadi  7%, 8%, atau bahkan 9% tanpa perlu adanya perbaikan kinerja kredit.  Tidak demikian halnya di bank syariah, apalagi kalau kita mengetahui bahwa 72% pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah adalah murabahah (pembiayaan jual beli dengan cicilan tetap) yang secara teoritis akan memberikan tingkat rate pendapatan yang tetap.  Bila kemudian bagi hasil DPK menurun, maka ada dua kemungkinan.  Pertama, bank syariah menurunkan nisbah bagi hasil nasabah.  Kedua, kinerja pembiayaan memburuk.  Untuk yang pertama, tentunya bank syariah harus meminta kesepakatan nasabah akan nisbah baru tersebut.Penurunan nisbah tanpa kesepakatan nasabah, tentu menyalahi syariah. Untuk yang kedua, patut dicermati dengan lebih hati-hati.
Pada aspek pengawasan syariah, sungguh tidak mudah untuk bertanggung jawab atas pengawasan syariah mengingat demikian kompleksnya transaksi perbankan. Menimpakan beban berat ini hanya kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) bukanlah cara yang realistis.  Pengawasan syariah sepatutnya merupakan tanggung jawab bersama semua  stakeholders.  Selain DPS yang bertanggung jawab pada aspek syariahnya, untuk aspek operasional pengawasan syariah paling tidak harus dilakukan oleh audit internal bank, direktur kepatuhan, bahkan komisaris harus ikut menjaga kepatuhan syariah.  Audit ekstern yang dilakukan oleh kantor akuntan publik juga tidak boleh melewatkan begitu saja adanya pelanggaran atas kepatuhan syariah.  Dan tentunya BI bertanggung jawab sebagai otoritas perbankan. Semua institusi ini sesuai kompetensi dan wewenangnya masing-masing harus bahu membahu menjalankan fungsi pengawasan syariah.

Catatan Akhir : Peranan DPS, DSN dan Regulasi BI
Pertemuan puncak Sidang Umum  Islamic Financial Services Board (IFSB) yang baru berakhir pada 3 April lalu di Bali yang dihadiri delegasi bank sentral yang di negaranya memiliki perbankan syariah, juga dihadiri oleh IMF, Bank Dunia, dan tentunya IDB, membahas harmonisasi regulasi perbankan syariah secara internasional. Hal ini untuk mengantisipasi perkembangan perbankan syariah yang semakin fenomenal.
Menurut Gubernur Bank Indonesia yang ditunjuk sebagai Ketua IFSB, ada tiga level regulasi perbankan syariah.   Pertama, level nasional dimana peran dewan syariah di masing-masing negara sangat penting dalam menetapkan aspek syariahnya.  Kedua, level infrastruktur, dimana  IFSB dan  Accounting & Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) lah yang berperan.  Ketiga, level international dimana diharapkan adanya dewan syariah internasional yang dapat berperan mengharmonisasi berbagai opini syariah di masing-masing negara.  Dengan kata lain, peran Dewan Syariah dalam mengawal perbankan syariah agar tetap bergerak dalam koridor syariah dirasakan sangat penting, baik di level nasional maupun internasional.
PP no.72/ 1992 menjelaskan bahwa “Kedudukan Dewan Pengawas Syariah dalam organisasi bank bersifat  independen dan  terpisah dari kepengurusan bank sehingga tidak mempunyai akses terhadap operasional bank. Dewan Pengawas Syariah mempunyai tugas menentukan boleh tidaknya suatu produk / jasa dipasarkan atau suatu kegiatan  dilakukan, ditinjau dari sudut syari’at. Oleh karena itu anggota-anggota Dewan Pengawas Syariah harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai syari’at”. Congratulation for the second time! Aturan inilah yang juga diadopsi oleh AAOIFI lima tahun kemudian tepatnya pada meeting ke 13 tanggal 15-16 Juni1997. AAOIFI menegaskan “A sharia supervisory body is an independent body of specialized jurists in fiqh muamalat”. Keterpisahan dewan ini dari kepengurusan bank juga diadopsi oleh AAOIFI yang secara eksplisit menyebutkan “the sharia supervisory board should not include directors or significant shareholders of the islamic financial institution”.
Dibandingkan  dengan  bank  sentral  lain, kinerja BI dalam mengeluarkan regulasi perbankan syariah patut diacungi jempol. Dalam periode yang relatif singkat produktifitas BI dapat dikatakan yang tertinggi. Berbagai PBI tentang bank syariah telah diterbitkan, juga regulasi lainnya seperti Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no.59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang dikeluarkan bersama Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), dan di review oleh DSN MUI. Terbitnya PSAK 59 menunjukkan adanya kerjasama yang baik antara ketiga lembaga tersebut.